MEDAN, (media24jam.com) – Komisi C DPRD Sumut menuding PT Inalum ‘ngeles’ (menghindar-red) membayar tunggakan PAP (Pajak Air Permukaan) kepada Pemprovsu mencapai Rp2,6 triliun. Bahkan, dewan merasa Inalum merasa jadi orang asing di tanah sendiri.
Tudingan itu dilontarkan anggota Komisi C dan D DPRD Sumut, Ir Loso dan Yantoni Purba dalam rapat dengar pendapat gabungan dengan PT Inalum dan Badan Pengelolaan Pajak Daerah (BP2RD) Sumut, dipimpin Ketua Komisi C Adji Karim, Senin (20/1/2020) di gedung dewan.
Menurut Loso, sesuai Pergub no 24 tahun 2011 pasal 9 ayat 2 sudah jelas, PT Inalum berkewajiban membayar PAP dengan kreteria II, dengan peruntukan industri bukan peruntukan pelayanan publik seperti PT PLN.
“Inalum bukan pembangkit listrik, tapi industri untuk bisnis dan wajib bayar PAP sesuai peruntukan industri, tapi Inalum tetap ngeles dan menyakiti hati rakyat sumut dalam kurun waktu tahun 2013,” ujar Loso.
Padahal, ungkap politisi PKB ini, membayar PAP sudah ada hitungannya. Inalum masuk kategori bisnis ada keuntungan, tapi kenapa keberatan membayar kewajiban yang berdampak terganggunya APBD Provsu. “Kami juga sudah minta Komisi XI DPR membantu menyelesaikan masalah Inalum yang dianggap tak berniat bayar PAP, karena pajak itu menyangkut hajat hidup orang banyak,” ujarnya.
Sementara, anggota Komisi D, Yantoni mengatakan, ketika Inalum dikuasai perusahaan Jepang, annual fee (sekarang PAP) nominal yang wajib disetor tidak jauh dari data sekarang dan tidak ada masalah. Namun, sekembalinya Inalum ke tangan Indonesia, dengan harapan menfaatnya lebih besar untuk rakyat Indonesia, ternyata masih belum maksimal, khususnya kepada rakyat Sumut.
“Kalau Inalum beroperasi di Sumut harusnya bermanfaat bagi Sumut. Inalum adalah BUMN yang sehat, tapi ketika membayar pajak ke Sumut, tidak ada uang. Ini jelas Inalum tidak punya niat untuk membayar pajak. Dengan pengajuan ke pengadilan pajak, ada upaya mengulur-ulur waktu agar tidak membayar, sementara pembanguan Sumut jalan terus,” ujar Yantoni.
Dia juga mengingatkan, Direksi Inalum jangan berbangga hati sebagai perusahaan sehat dan di Papua memiliki saham di Freport, tapi di Sumut tidak ada. “Kami melihat sepertinya Inalum merasa menjadi orang asing di tanah sendiri. Harusnya ada niatan dari Inalum membantu rakyat Sumut, jangang tetap kekeh dengan nilai PAP Rp75/KWh,”ujarnya.
Dalam rapat yang dihadiri anggota dewan seperti Edward Zega, Tuahman Purba, Iskandar Sinaga, pihak Direksi PT Inalum Dante Sinaga menyebutkan, penetapan besaran PAP yang akan dikenakan ke Inalum, Pemprovsu harus melaksanakan putusan Mahkamah Agung dan Pengadilan Pajak yang menetapkan bahwa kewajiban PAP yang harus dibayar Inalum sesuai pasal 9 ayat 3 Pergubsu no 24 tahun 2011 yaitu berdasarkan produksi listrik yang dihasilkan.
Sementara, Plt BP2RD Provsu Riswandi menyebutkan, pihaknya belum menerima putusan Mahkamah Agung dan Pengadilan Pajak yang menetapkan bahwa kewajiban PAP yang harus dibayar Inalum sesuai pasal 9 ayat 3 Pergubsu no 24 tahun 2011. Ketentuan tarif PAP yang harus dibayar Inalum sesuai Pergub no 24 tahun 2011 pasal 9 ayat 2 dengan peruntukan industri dihitung progresif.
“Namun pihak Inalum berpatokan pada Kepmendagri no 12 tahun 2002 Pasal 9 ayat 3 tentang tarif khusus hanya diperuntukan bagi BUMD dan BUMN yang memberi pelayanan publik. Yang membedakan Inalum dengan BUMN lain seperti PLN adalah Inalum merupakan industri bisnis. Jadi, tidak tepat menggunakn tarif khusus membayar Rp75 per Kwh, tambahnya.
Usai pemaparan dari direksi PT Inalum, Ketua Komisi C akhirnya menutup sidang sembari mengatakan bahwa sidang diskor.
“Sidang kita skor,”sebut Adji Karim sambil mengetuk palu.
Saat ditemui, Ir Loso juga mengungkapkan bahwa pihaknya (DPRD) akan menggelar kunjungan kerja ke PT Inalum dalam waktu dekat. Guna melihat lebih dekat dan mengetahui proses jalannya PT Inalum.
“Ada juga yang saya ingin tau, terutama mengenai dana CSR nya sebesar 4 persen. Kemana saja disalurkan,”sebutnya. (ind)